|
Semarang, fk.undip.ac.id- Penanganan anak autis
masih banyak yang salah kaprah. Metode yang dipakai sering disamakan
untuk tiap anak. Padahal, seharusnya tidak demikian.
“Masing-masing anak membutuhkan penanganan yang berbeda,’’ kata anggota Centre for Biomedical Research (Cebior) FK Undip dokter Tri Indah Winarni, di sela-sela seminar autis di Gedung Dekanat RSUP Dr Kariadi, Kamis (13/11).
“Masing-masing anak membutuhkan penanganan yang berbeda,’’ kata anggota Centre for Biomedical Research (Cebior) FK Undip dokter Tri Indah Winarni, di sela-sela seminar autis di Gedung Dekanat RSUP Dr Kariadi, Kamis (13/11).
Wanita yang akrab disapa Iin itu menjelaskan, masing-masing anak
autis memiliki karakter berbeda. Dengan begitu, metode yang berhasil
diterapkan pada anak yang satu bisa jadi tak akan berhasil ketika
diterapkan pada yang lain. “Sifat dari penanganan yang diberikan
benar-benar harus individual,’’ tegasnya.
Yang tak kalah memprihatinkan, penanganan anak autis disamakan dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). ADHD merupakan gangguan perkembangan emosi dan perilaku masa kanak-kanak yang terjadi sebelum berusia tujuh tahun.
Penandanya antara lain inatensi, impulsivitas, hiperaktivitas, dan gangguan pola perilaku terstruktur pada dua macam situasi berbeda. Gangguan ini berlaku kronis selama masa perkembangan.
“Autis tidak bisa sembuh, sedangkan ADHD bisa,’’ kata Iin.
Sementara itu, pemerhati anak autis, Nurini menjelaskan, selain bersifat individual, penanganan anak autis harus mengedepankan kepeduliaan. Ini terutama berlaku pada orang tua. “Mereka harus turut memberikan penanganan. Jangan sepenuhnya diserahkan para terapis atau sekolah saja,’’ kata dia.
Orang tua juga harus konsisten dalam memberikan larangan, terutama yang terkait dengan asupan makanan.
Perlu diketahui, tidak bisa menghasilkan enzim tertentu yang membuat penyerapan makanan menjadi tak sempurna. Beberapa bahan yang diserap justru akan menjadi opium yang akan meracuni otak. Akibatnya, akan memicu emosional mereka. Bahan makanan itu misalnya susu dan tepung terigu.
Dalam hal inilah orang tua sering tidak konsisten. Mereka acap tak tahan dengan rengekan anak. Akhirnya, apa yang diminta dituruti. Akibatnya, emosi anak tak terkendali dan mengalami obesitas.
Yang tak kalah memprihatinkan, penanganan anak autis disamakan dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). ADHD merupakan gangguan perkembangan emosi dan perilaku masa kanak-kanak yang terjadi sebelum berusia tujuh tahun.
Penandanya antara lain inatensi, impulsivitas, hiperaktivitas, dan gangguan pola perilaku terstruktur pada dua macam situasi berbeda. Gangguan ini berlaku kronis selama masa perkembangan.
“Autis tidak bisa sembuh, sedangkan ADHD bisa,’’ kata Iin.
Sementara itu, pemerhati anak autis, Nurini menjelaskan, selain bersifat individual, penanganan anak autis harus mengedepankan kepeduliaan. Ini terutama berlaku pada orang tua. “Mereka harus turut memberikan penanganan. Jangan sepenuhnya diserahkan para terapis atau sekolah saja,’’ kata dia.
Orang tua juga harus konsisten dalam memberikan larangan, terutama yang terkait dengan asupan makanan.
Perlu diketahui, tidak bisa menghasilkan enzim tertentu yang membuat penyerapan makanan menjadi tak sempurna. Beberapa bahan yang diserap justru akan menjadi opium yang akan meracuni otak. Akibatnya, akan memicu emosional mereka. Bahan makanan itu misalnya susu dan tepung terigu.
Dalam hal inilah orang tua sering tidak konsisten. Mereka acap tak tahan dengan rengekan anak. Akhirnya, apa yang diminta dituruti. Akibatnya, emosi anak tak terkendali dan mengalami obesitas.